Baitul Hikmah era modern di Baghdad, Irak./Republika Sebagian besar dari kita masih belum tahu tentang kapan munculnya AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH. Bagaimana proses istilah tersebut menjadi populer sampai hari ini? Mari kita simak sejarah kemunculan istilah AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH, kami mengambil semua referensinya dari Majalah Hidayatullah edisi 05XXIXSeptember 2017/Dzulhijjah 1438 H. Tanpa ada pengurangan dan penambahan. Silahkan simak tulisan di bawah ini; Istillah AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH amat populer. Bagaimana sejarah kemunculannya? Salah satu pemikiran dalam Islam yang sampai saat ini masih eksis adalah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah. Bahkan ini diikuti mayoritas umat Islam di dunia. Para ahli sejarah menjelaskan kemunculan aliran ini secara substansial sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Hanya saja ketika itu namanya belum diformalkan. Rosulullah Saw. Dalam sebuah kesempatan menyampaikan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang masuk surga dan lainnya masuk neraka. Satu golongan itu disebut al-jama’ah. Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan ad-Darimi Nabi Saw. Kemudian wafat. Tongkat kepemimpinan dilanjutkan oleh khalifah Abu Bakar ash-Shidiq RA. Kemudian Umar bin Khatab RA. Sampai di sini, dalam tubuh kaum muslimin tidak ada perpecahan. Pelanjutnya adalah khalifah Utsman bin Affan RA. Beliau wafat karena dibunuh pemberontak. Kemelut muncul dan terjadilah perang antara kubu Ali bin Abi Thalib RA. Dan Muawiyah. Secara militer, peperangan dimenangi oleh Ali. Tetapi secara diplomatis, Muawiyah yang unggul. Dalam peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan Tahkim, yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al-Qur’an berada di ujung tombak sebagai tawaran damai. Berawal dari sini, muncul kelompok baru yang menolak adanya Tahkim, yaitu khawarij. Jadi, umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu Syiah Pendukung Ali, Khawarij, dan pendukung Muawiyah. Guna menguatkan kekuasaan dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliranatau golongan baru bernama Jabariyah. Salah satu ajarannya yaitu setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah SWT. Dalilnya adalah “Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah.” Al-Anfal[8]17 Merebaknya ajaran Jabariyah membuat situasi menjadi rumit. Banyak orang yang malas bekerja karena yakin bahwa apa yang dilakukan adalah kehendak Allah SWT. Melihat situasi yang tidak baik itu, cucu Ali yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran baru yang dikenal dengan Qadariyah. Aliran ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Allah SWT. Tidak ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalilnya yang populer adalah “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” ar-Rad [13] 11 Estafet kepemimpinan kemudian beralih dari kekhalifahan Muawiyah ke Dinasti Abbasiyah. Di masa ini, doktrin Qadariyah menjadi aliran yang paling populer dan menjadi pondasi untuk melakukan pembangunan. Paham ini dianggap paling berjasa dalam melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi negara maju dalam berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan. Dalam perkembangannya, Qadariyah bermetamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah. Ajarannya adalah menggunakan logika dalam setiap Ijtihad. Bahkan kemudian aliran ini menjadi aliran resmi Negara. Setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai manhajul fikr aliran pemikiran. Akibatnya, terjadilah pemaksaan doktrin sampai pada pembunuhan terhadap setiap warga yang tidak mengikuti aliran itu. Ketika Kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Ma’mun 827 M, al-Ma’tashim, dan al-Wasiq 813-847 M, para ulama dipaksa untuk mengikuti paham bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. Siapa saja yang tidak setuju maka akan disiksa atau dibunuh. Di antara ulama yang menolak paham tersebut sehingga disiksa adalah Imam Ahmad ad-Dzahabi, Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz XI312. Pendiri mazhab Hanbali ini harus mendekam dalam sel dan mendapat siksaan fisik yang sangat berat. Adapun ulama yang dibunuh adalah Imam al-Buwaithi, murid Imam asy-Syafei’i. Ia disiksa sampai meninggal karena meolak keyakinan tersebut. Ibnu Katsir, al-bidayah wan Nihayah, 10/369. AHLUS SUNNAH MUNCUL KEMBALI Saat itu ada seorang ulama besar yang mulanya pengikut Mu’tazilah namun kemudian menyatakan keluar. Beliau adalah Abu Hasan al-Asy’ari, yang menyatakan netral. Bukan menjadi bagian dari Jabariyah, Qadariyah, atau Mu’tazilah. Imam al-Asy’ari ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesankan oleh Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti sunnah dan para sahabat. Mengikuti Imam al-Asy’ari berarti mengikuti jejak salaf dan berpegang teguh terhadapnya, serta membangun argumentasi yang kokoh terhadap jejak mereka. Muncullah Asy’ariyyah Tajuddin as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra, III/365 Istilah itu populer untuk membedakan dengan kelompok lainnya. Namun sesungguhnya, istilah itu sudah dipakai oleh sebagian sahabat. Ibnu Abbas ketika menafsirkan surat ali Imran {3} 106, yang dimaksud “muka yang putih berseri” yaitu Ahlus-Sunnah wal Jama’ah. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya adalah ahli bid’ah. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an Adhim, 2/92 Kalangan Tabi’in juga menggunakan istilah itu untuk mengetahui orang yang benar-benar termasuk Ahlus-Sunnah dan bukan. Ibnu Sirrin menjelaskan bahwa syarat diterimanya syarat seorang perawi Hadist yaitu harus dari kalangan Ahlus-Sunnah. Muqaddimah Muslim Tokoh lain yang mendorong agar umat kembali kepada Ahlus-Sunnah adalah Abu Mansur al-Maturidi. Aliran ini semakin kuat di tengah derasnya arus Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah yang membingungkan umat. Yang membedakan mereka dengan ulama Salaf yaitu mereka menggunakan kalam saat menghadapi tokoh-tokoh Jabariyah dan lainnya. Tentunya, kalam yang dipakai berpatokan pada hujjah-hujjag salaf. Para salaf ketika menghadapi kelompok-kelompok tersebut tidak menggunakan ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan Imam Ahmad dan ulama sebelumnya. Orang yang mengikuti sikap mereka disebut Atsyari dengan tokohnya Imam Ahmad. Meski kelompok ini tidak menggunakan kalam, namun mereka tidak mencela ulama yang menggunakan kalam selama masih berpatokan pada al-Qur’an dan Sunnah. Berdasar sejarah di atas, Syaikh Abul Aun as-Safarini al-Hanbali wafat 1188H kemudian menggolongkan Ahlus-Sunnah wal Jama’ah menjadi tiga kelompok. Yaitu al-Atsariyah dengan imamnya Ahmad bin Hambal, al-Asy’arriyyah Abul Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidiyyah Abu Mansur al-Maturidi. Lawami’ al-anwar al-Bahiyyah, 1/73.Sumber Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah.
DefinisiAhlussunnah wal Jama'ah, ASWAJA dan Wahabi Definisi Ahlussunnah wal Jama'ah Allah Azza wa jall berfirman : "Berpeganglah kamu semua pada tali Allah (Al Qur'an dan Sunnah), dan janganlah kamu berpecah belah" (Al Qur'an. Surat Ali Imron : 103).
Sejarah Perkembangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah Oleh Mukh. Sumaryanto Pendahuluan Di zaman Nabi Muhammad SAW. masih hidup dan memimpin umat manusia, islam masih satu kesatuan dalam naungan kepemimpinan beliau. Kesatuan tersebut terlihat baik dari segi agama, politik maupun sektor sosial masyarakat. Semuanya telah diatur dan dipimpin oleh beliau, setiap kali ada permasalahan yang terjadi para sahabat, maupun yang lainnya pasti akan datang kepada beliau untuk bertanya, sehingga tak akan mungkin ada suatu perbedaan yang akan terjadi baik pada sahabat maupun umat islam keseluruhan. Sepeninggal Nabi Muhammad SAW berbagai macam aliran-aliran keagamaan mulai berkembang, pelan tapi pasti dan bisa dirasakan . Itulah kenyataan dari pernyataan yang pernah disampaikan oleh beliau Rasulullah SAW. Beliau berkata bahwa umat islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan dan yang selamat hanya satu, Ahlu sunnah wal-Jama’ah atau ASWAJA begitulah aliran ini disebut. Itulah yang terjadi, sejarah mengatakan berbagai macam aliran sudah terbentuk dan berjalan di muka bumi ini, aliran-aliran tersebut telah tumbuh berkembang di tengah-tengah masyarakat, termasuk juga ahlu sunnah wal jama’ah pun demikian. Untuk mengetahui bagaimana proses perkembangan ASWAJA, pemakalah akan sedikit banyak menyampaikan hal tersebut. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan ASWAJA? 2. Bagaimanakah sejarah perkembangan ASWAJA ? Pembahasan 1. Arti Ahlusunnah wal-Jama’ah Ahlusunnah wal- Jama’ah terdiri dari tiga kata, ahl, sunnah, dan jama’ah. Ahlu bermakna golongan. Sedang as-sunnah, menurut Imam as-Syatibi, ialah segala sesuatu yang dinukil dari Nabi SAW. Secara khusus dan tidak terdapat dalam al-Qur’an, tapi dinyatakan oleh Nabi. Jadi, beliau sekaligus merupakan penjelasan isi al-Qur’an. Sunnah dalam pengertian ini lawan dari bid’ah. Kemudian al-Jama’ah. adalah golongan yang mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabanya[1] Ahlu Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para sahabatnya.[2] Islam telah mengisyaratkan adanya firqoh-firqoh yang akan terjaadi dalam kehidupan umat manusia, termasuk firqoh dalam islam, berikut adalah hadits yang menerangkan tentang hal tersebut, Artinya Dari Sufyan Al-Tsauri Nabi SAW. Bersabda “ Sesungguhnya Bani Israel terpecah menjadi tujuh puluh dua aliran, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran. Semua aliran itu akan masuk neraka, kecuali satu. Para sahabat bertanya siapakah satu aliran itu ya Rasulallah ? mereka itu adalah aliran yang mengikuti apa yang aku lakukan dan para sahabatku Ahlu Sunnah wal jama’ah . HR. Tirmidzi Dalam firqoh-firqoh tesebut semua akan celaka kecuali golongan yang berkomitmen melakukan segala amaliyah Nabi dan para sahabatnya. Lafadz “ ” disebut dengan ahlu sunnah wal-jama’ah, yang berarti penganaut sunnah nabi Muhammad SAW dan jama’ah Sahabat-sahabatnya.[3] Ketika Rasulullah SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan anshar, siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan menimbulkan perselisihan antara kaum Muhajirin dan anshar. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukan siapa khalifah pengganti Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Abu bakar sebagai khalifah.[4] Pada masa itu mulai terlihat adanya perpecahan antar umat islam yang berlanjut hingga masa kepemimpinan khulafa’ berakhir yang kemudian dilanjutkan oleh para kholifah dari berbagai dinasti dan sampailah pada dinasti dimana imam-imam madzhab aliran-aliran muncul. Menurut sebagian sejarawan, istilah Ahlussunnah wal-Jama’ah itu digunakan sejak abad III H. mereka menyebutkan satu bukti yang ditemukan pada lembaran surat Al-Ma’mun khalifah dinasti Abbasiyah ke-6. Di sana, tercantum kata-kata, “wa nassaba nafsahum ilaa as-Sunnah mereka menisbatkan diri pada sunnah. Abad ini adalah periode tabi’in dan para imam-imam mujtahid, di kala pemikiran-pemikiran bid’ah sudah mulai menjalar terutama bid’ah dari kaum mu’tazilah. Sejarah mengatakan bahwa khalifah al-Ma’mun merupakan khalifah yang mengambil mu’tazilah sebagai akidah resmi negara kemudian memaksakan doktrin-doktrin Mu’tazilah kepada kaum muslimin.[5] Munculnya istilah Ahlusunnah wal-Jamaah merupakan perwujudan dari sabda Rasulullah SAW “Selalu segolongan dari umatku mendapatkan pertolongan” Ibnu Majah. Untuk orang-orang inilah, istilah ahlusunnah wal-jama’ah ditujukan. Dengan kata lain, ahlu sunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh sunnah Rasulullah SAW dan ajaran para sahabat, baik dalam masalah akidah, ibadah, maupun etika batiniah tasawuf.[6] Aliran Ahlu sunnah wal Jama’ah tak lepas dari para pendirinya yaitu Imam Abu Hasan Al-asy’ari dan juga imam Abu Mansur Al-Maturidi. Saat kondisi perpolitikan Abbasiyah tengah tergoncang dan akidah pada masa itu semakin kabur dengan paham-paham baru yang muncul, lahirlah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Kelahirannya saat Abbasiyah berada pada kepemimpinan Al- Mu’tamid ala Allah.[7] Bersama dengan imam Al-Maturidi, Imam al-Asy’ari berjuangan keras mempertahankan sunnah dari lawan-lawannya. Mereka bagaikan saudara kembar. Dari gerakan-gerakan al-Maturidi muncul karya-karya yang memperkuat madzhabnya, seperti kitab Al-Aqaid an-Nasafiyah karya Najmudin an-Nasafi, sebagaimana muncul dari al-Asy’ari beberapa karya yang memperkokoh madzhabnya seperti as-Sanusiyah dan al-Jauharoh.[8] Akidah yang dibawakan oleh imam Asy’ari menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuk dan seolah menjadi aqidah resmi negara. Paham As’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti al-Mahdi bin tumirat dan Nurudin Mahmud Zanki serta sultan Salahudin al-Ayyubi. Juga didukung oleh sejumlah besar Ulama, terutama para imam madzhab. Sehingga wajar sekali kalau akidah asy’ariyah adalah akidah terbesar di dunia.[9] Begitupun dengan al-Maturidi, aliran ini telah meninggalkan pengaruh dalam dunia islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil sikap tengah antara akal dan dalil naqli, pandangannya yang bersifat universal dalam menghubungkan masalah yang siifatnya juz’I ke sesuatu yang kulliy.[10] Selanjutnya para pengikut keduanya lah yang melanjutkan dan menyebarkan aliran-aliran beliau dengan membukukan kitab-kitab maupun yang lainnya. Kesimpulan Ahlu Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para sahabatnya, sesuai yang disampaikan di dalam hadits nabi Muhammad SAW. Madzab ini berkembang pesat pada masa kekholifahan dinasti abbasiyah. Daftar Pustaka Abbas, Sirajuddin. 1983. I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Jakarta Pustaka Tarbiyah Hanafi, A. 2003. Pengantar Teologi Islam, Cet I, Jakarta Pustaka Al-Husna Baru Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. 2008. Aliran-aliran Teologi Islam. Jawa Timur Purna Siswa Aliyah Wikipedia Indonesia [1]Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Aliran-aliran Teologi Islam, Jawa Timur Purna Siswa Aliyah, 2008 Hlm. 174 [3] Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta Pustaka Tarbiyah, 1983 Hlm. 16 [5] Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Aliran-aliran Teologi Islam …. Hlm. 170 [9] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Cet I, Jakarta Pustaka Al-Husna Baru, 2003 Hlm. 167
sejarahlengkap-ahlussunnah-wal-jamaah-aswaja-islam 2/7 Downloaded from June 17, 2022 by guest values and faith communities confront the contemporary challenges to uphold ethics and human dignity. We strongly believe that ISRL conference provides a good forum for all academicians, researcher, developers and
BAB I PENDAHULUAN Makalah Sejarah Ahlussunnah Wal Jamaah A. Latar belakang Masalah Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia dan Jalur Utara Jalur Sutara yang bermadzhab Hanafi Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia. Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid – murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun – temurun menghasilkan Ulama – ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan Madura, Syaikh Arsyad Al Banjari Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain – lain. Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah Aswaja sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu. Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan hurriyah; yakni kebebasan berfikir hurriyah al-ra’yi, kebebasan berusaha dan berinisiatif hurriyah al-irodah serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas hurriyah al-harokah. Selama kurun waktu berdirinya 1926 hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ahlussunah waljama’ah 1. pengertian ahlussunah waljama’ah secara bahasa Ahlun keluarga, golongan atau pengikut. Ahlussunnah orang – orang yang mengikuti sunnah perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW. Wal Jama’ah Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengukut sunnah Rasul. Dengan demikian secara bahasa /aswaja berarti orang – orang atau mayoritas para Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para Ulama. 2. Secara Istilah Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali serta dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi. Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamā’ah mengikuti salah satu madzhab empat Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali [1] Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas bukanlah soal yang penting untuk menilai pokok faham keagamaan NU. Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar hanyalah aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu terdapat warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti pokok kehidupan keagamaan NU. Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa al-Jama'ah merupakan sistem nilai yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku di NU. Oleh karena itu, paham ahlussunah waljama’ah aswaja tidak hanya dijadikan landasan dalam kehidupan keagamaan NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial politik. Dalam hal ini, ada empat prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan kemasyarakatan bagi NU yaitu 1. Tawasuth 2. Tasamuh 3. Tawazun 4. Amar ma’ruf nahi munkar [2] B. sejarah petumbuhan ahlussunah waljama’ah Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja ahlussunah waljama’ah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jamiyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok Nahdlatul Ulama. Ulama secara lughowi etimologis / kebahasaan berarti orang yang pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi pernah bersabda yang artinya “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup banyak.”. Sejak berdirinya tahun 1926, NU telah memproklamirkan dirinya sebagai penganut setia paham ahlussunah waljama’ah aswaja dengan mempertahankan, melestarikan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya secara eksplisit, tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Pernyataan ini terlihat dari Anggaran Dasar NU sebagai berikut ”Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam Empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.”[3] Di Indonesia, seorang Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai” yang berarti orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh gelar “Ulama” atau “Kyai”, maka ada 3 kriteria yaitu Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang Ulama adalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi risalah Rasulullah SAW, meliputi ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya. Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari – hari seperti tekun beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan kepentingan umat & mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT. C. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang. Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis Semarang, dan Pesantren Siwalan, Panji Sidoarjo. Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis. Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato. Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama Kebangkitan Ulama tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.” Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah Comite Chilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi yang kemudian melahirkan NU. Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo Bandera Islam, 16 Oktober 1924. Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat Centraal Comite Chilafat. Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia MIAI yang melibatkan Sarikat Islam SI, Nahdhatul ulama NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam. Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah cabang, seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam Kongres al-Islam Hindia di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan Al-Basri 110 H/728 M. Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam Al-Syafi’i 205 H/820 M berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth moderat, tasamuh toleran dan tawazzun seimbang serta ta’addul Keadilan. Perkembangan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir manhaj al-fikr keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru blue print yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern. DAFTAR PUSTAKA Ainul, Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif L-Jihan Azyumardi, Azra, jaringan ulama. 1994, Bandung ; Mizan. Badri, Yatim, sejarah peradaban islam, 2001, Jakarta Raja Grafindo Jaya. Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos, Jakarta 1999, Ali Khaidar, ONahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, Jakarta Gramedia, 1995, KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran dan Anti Ekstrim ed, dalam Imam Baehaqi ed , Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta, 1999,
43 NU dan Paham Ahlussunnah Wal Jamaah 4.3.1 Konsep Paham Ahlussunnah Wal Jamaah Secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal Jamaah (Ahlussunnah Wal Jamaah) dapat dikonsepsikan sebagai gabungan dari kata-kata bahasa Arab ahlun, sunnah, dan jama'ah. Ahlun berarti pemeluk aliran atau pengikut mazhab. al-Sunnah berarti thariqat (jalan), sedangkan al
Ирун ኢебисрε бевዕ
Аռуքυլէփе еноза
Мθ еψէш ሧглኪчоձևձ
Ջօտатв ςи ив
Зυмемапуχо ቩр
ድαቀዱ ሁղωպиጨо
Ւеሦо եςеկուγан
ኸпቭпсո աвοцሳξቡዮω
Нοхጋւυвс υծ ուռэγ
Եհебруρω еሉ
ሜдоресле лሔֆе շа
ኔγኟбուлищω иφ пուςուмихի
Ժεгቢጄ щехрепуዷ вեዚεթутвим
У ишሣվο зайаցէчи
Екещ ο
Гխճаձቁ αсв
Ma Faiz Amer Leave a comment. AHLI Sunnah wal Jamaah ialah sebagai mana yang disebut oleh al-Hafiz Murtada al-Zabidi dalam kitab Ithaf al-Sadat al-Muttaqin: "Jika dikatakan Ahli Sunnah wal Jamaah, maka yang dimaksudkan ialah al-Ashairah dan al-Maturidiyyah.". Dr Nuh 'Ali Salman al-Qudah yang merupakan Qadi al-Qudah (Ketua
NilaiAhlussunnah Wal Jama'ah menjadi nilai dasar dan landasan organisasi untuk membangun keimanan, pemikiran, sikap dan berperilaku. Selain mendasarkan pada prinsip agama, tata kelola organisasi juga dilakukan dengan tetap menjalankan dan/atau mempertahankan tradisi-tradisi serta simbol-simbol organisasi.
.