Dilansirdari Ensiklopedia, mencairnya es di kutub disinyalir hasil dari global warming disebabkan gas buang/emisi industri.hubungan sebab akibat diatas adalah keterkaitan aspek ruang. Itulah tadi jawaban dari pertanyaan tersebut. Semoga membantumu dalam mengerjakan soal-soal.- Pemanasan global membuat es di Antartika, Kutub Selatan mencair lebih cepat dibandingkan sebelumnya–kira-kira meningkat enam kali lipat dibanding 40 tahun lalu. Dilansir dari peningkatan laju cairnya es ini akan membuat permukaan air laut di seluruh dunia semakin naik. Baca Juga Paus Terancam Punah Ditemukan dengan Sampah Plastik di Tenggoroknya Menurut sebuah studi yang dipublikasikan pada Proceedings of the National Academy of Sciences, dari 1979 hingga 2017, permukaan laut di seluruh dunia sudah meningkat lebih dari 1,4 sentimeter. Kondisinya pun diduga semakin parah di masa mendatang dan menyebabkan bencana pada beberapa wilayah. “Sejalan dengan terus mencairnya lapisan es di Kutub Selatan, kami mengantisipasi naiknya permukaan laut lebih dari satu meter pada abad-abad mendatang,” kata Eric Rignot, ahli geografi dari Universitas California. Peningkatan permukaan laut setinggi 1,8 meter menjelang 2100 diduga akan menenggelamkan beberapa kota pesisir yang menjadi tempat tinggal jutaan orang di seluruh dunia. Peneliti menemukan bahwa antara 1979 hingga 1990, Kutub Selatan rata-rata telah kehilangan 40 miliar ton masa esnya setiap tahun. Sementara itu, mulai 2009 hingga 2017, es yang mencair telah meningkat enam kali lipat, yaitu menjadi 252 milar ton per tahun. Baca Juga Asteroid Pemusnah Dinosaurus Picu Tsunami Besar di Seluruh Laut Dunia Yang lebih mengkhawatirkan, menurut para lmuwan, wilayah di Kutub Selatan yang dulunya dianggap “stabil dan tidak terpengaruh perubahan” ternyata juga kehilangan es dalam jumlah banyak. “Area Wilkes Land di Kutub Selatan bagian timur, secara keseluruhan, juga telah mengalami kehilangan es dalam jumlah besar, bahkan sejak 1980-an,” papar Rignot, dikutip dari “Kawasan tersebut mungkin lebih sensitif terhadap perubahan iklim dibanding yang kita kira sebelumnya. Hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk diketahui, karena kandungan es di kawasan itu lebih besar dibandingkan gabungan Kutub Selatan bagian Barat dan Semenanjung Kutub Selatan,” imbuhnya. Menurut Rignot, meningkatnya suhu samudra semakin mempercepat hilangnya es di masa yang akan datang. Diketahui bahwa, suhu samudra akhir-akhir ini meningkat lebih cepat dari sebelumnya–mencapai rekor suhu tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. PROMOTED CONTENT Video Pilihan MencairnyaLapisan Es di Kutub Utara dan Selatan Perbesar Salju di Antartika yang meleleh akibat pemanasan global. Foto: Johan Ordonez Meningkatnya suhu menyebabkan lapisan es di kutub meleleh. Para ilmuwan di Inggris menyatakan bahwa sebanyak 28 triliun ton lapisan es di bumi telah hilang dalam 30 tahun terakhir.
Ilmuwan, negarawan dan masyarakat Islandia baru-baru ini memasang plakat peringatan di gletser Okjökull yang kehilangan lapisan es dan statusnya sebagai gletser akibat pemanasan global oleh aktivitas manusia. Dalam monumen tersebut tertulis peringatan bahwa dalam 200 tahun mendatang, umat manusia akan menyaksikan gletser-gletser lainnya mengikuti jejak Okjökull. Sebuah plakat diletakkan sebagai peringatan atas hilangnya gletser Okjökull glacier karena perubahan iklim. Rice University, CC BY-SA Indonesia juga memiliki gletser seperti Islandia, yaitu di Pegunungan Jayawijaya. Tidak kurang dari 84,9% dari massa es di Pegunungan Jayawijaya telah mencair sejak tahun 1988, sehingga warisan alam ini pun diprediksi akan hilang dalam dekade mendatang. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dampak perubahan iklim oleh emisi gas rumah kaca tidak hanya menyentuh gletser yang hanya ada satu-satunya di Indonesia ini, tetapi juga laut yang luasnya meliputi 70% dari wilayah Indonesia dan kedalamannya melebihi ketinggian Puncak Jaya. Baru-baru ini panel ilmuwan PBB untuk isu perubahan iklim atau IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change merilis Special Report on Ocean and Cryosphere in a Changing_Climate SROCC, kajian terkait dengan kondisi laut dan kriosfer gletser, lapisan es, dsb di dunia. Saat ini saya terlibat dalam penulisan laporan iklim PBB mendatang atau Sixth Asessment Report untuk aspek kelautan, kriosfer dan kenaikan permukaan laut. Berikut penjelasan saya terkait hasil-hasil kajian SROCC yang perlu menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Laut semakin panas, semakin asam, dan semakin berkurang kadar oksigennya Sejumlah 104 pakar iklim dari 36 negara mengkaji status dan proyeksi dampak perubahan iklim terhadap laut dan kriosfer serta implikasinya bagi ekosistem dan manusia berdasarkan publikasi ilmiah. Hasil penelitian para ahli iklim mengungkap bahwa mencairnya lapisan es yang bermuara pada naiknya permukaan laut secara global merupakan satu dari beberapa efek domino dari perubahan iklim. Laporan IPCC menunjukkan, secara persisten, perubahan iklim menyebabkan laut semakin panas, semakin asam dan kekurangan kadar oksigen. Kenaikan permukaan laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil tidak hanya terus terjadi, namun lajunya juga semakin cepat. Fenomena iklim esktrem seperti gelombang panas laut marine heatwave akan semakin sering terjadi dengan intensitas dan durasi yang meningkat terutama di daerah tropis. Begitu pula dengan fenomena ekstrem El Niño-Osilasi Selatan yang membawa bencana kekeringan dan banjir di Indonesia. Read more Indonesia perlu lebih banyak penelitian dampak sampah plastik di laut Dampak bagi Indonesia Sumber daya laut yang tergeser, tertekan dan berkurang Laporan SROCC mengisyaratkan beberapa catatan penting terkait dampak perubahan iklim bagi Indonesia sebagai negara kepulauan di kawasan tropis. Pertama, keanekaragaman hayati laut menjadi taruhan. Perubahan iklim turut mengubah ritme musiman dan distribusi spesies laut. Sejak tahun 1950an, secara global, spesies laut yang biasa hidup di kedalaman kurang dari 200 meter berpindah menjauhi kawasan tropis sejauh kurang lebih 52 kilometer per dekade. Hal serupa juga terjadi pada spesies-spesies laut dalam. Mengingat beragamnya spesies laut di Indonesia, maka perlu ada penelitian lebih lanjut tentang ritme musiman dan distribusi tersebut. Kedua, laporan SROCC menekankan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling sensitif dibandingkan dengan ekosistem lainnya seperti padang lamun dan mangrove. Kondisi ini berpengaruh bagi Indonesia yang memiliki padang lamun terluas di Asia Tenggara dan 23% mangrove di dunia. Menurunnya jasa ekosistem lamun dan mangrove dapat mengurangi peran ekosistem laut pesisir dalam menyerap emisi karbon. Ketiga, pemanasan laut dapat menambah beban sektor perikanan dalam menghadapi isu overfishing dengan menekan potensi tangkapan ikan maksimal hingga sekitar 30% di perairan Indonesia apabila emisi gas rumah kaca dibiarkan meningkat sepanjang abad 21. Kombinasi antara pemanasan dan pengasaman laut juga berdampak negatif pada stok ikan dan binatang bercangkang, seperti kerang mutiara dan lobster. Tidak semua salah perubahan pada iklim Untuk dapat mengambil langkah adaptasi yang efektif, kita perlu memahami berbagai penyebab degradasi lingkungan laut yang tidak selalu disebabkan oleh perubahan iklim. Salah satu contoh klasik adalah kenaikan permukaan laut di Jakarta yang lebih banyak disebabkan oleh penurunan permukaan tanah karena penyedotan air tanah. Contoh lainnya, SROCC membedakan fenomena pengasaman atau penurunan pH air laut antara pengasaman laut ocean acidification dan pengasaman pesisir coastal acidification. Pengasaman laut merujuk kepada penurunan tingkat keasaman air laut akibat reaksi antara gas rumah kaca CO2 dan air laut. Namun, di kawasan perairan Indonesia juga terjadi pengasaman pesisir oleh aktivitas lokal manusia seperti pembuangan limbah, sehingga laju pengasaman air laut lebih tinggi dari tren global. Solusi-solusi lokal seperti penanggulangan limbah yang efektif dan restorasi ekosistem lamun yang mempengaruhi pH air laut secara lokal dapat mengurangi dampak dari pengasaman air laut bagi masyarakat sekitar. Read more Kisah para pahlawan pesisir Indonesia dari merusak menjadi melindungi SROCC dan negosiasi iklim SROCC menjadi masukan ilmiah penting bagi negosiasi iklim dalam UN Framework Convention on Climate Change Conference COP25 di Chile pada bulan Desember 2019 yang akan mengangkat tema kelautan atau Blue COP’. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki peran penting dalam mengambil langkah yang konkret dan realistis terhadap isu perubahan iklim. Dalam laporan SROCC dipaparkan juga keuntungan yang diraih dari strategi adaptasi perubahan iklim yang ambisius dan efektif, seperti perlindungan terhadap masyarakat pesisir terutama daerah padat populasi atas dampak naiknya permukaan laut, yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Berbeda dengan daratan yang menjadi penyebab dan korban dari perubahan iklim, SROCC memaparkan bahwa laut adalah korban dari perubahan iklim. Kondisi laut yang semakin panas, asam dan kekurangan kadar oksigen memiliki implikasi bagi komitmen Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati maupun pemenuhan target Sustainable Development Goals. Hal ini karena menurunnya kemampuan menjaga biodiversitas laut dari berbagai tekanan lingkungan, potensi mitigasi gas rumah kaca dari sektor kelautan, dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kajian ilmiah yang tertuang dalam SROCC, Blue COP serta UN Decade of Ocean Science 2021-2030 adalah momentum untuk melakukan langkah-langkah non business-as-usual dan inklusif yang akan diapresiasi oleh generasi mendatang.
Duh gawat kalau iya! Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Global warming merupakan suatu proses yang ditandai dengan naiknya suhu atmosfer , laut, dan daratan.
Pixabay Pemanasan global telah menyebabkan cuaca musim dingin yang lebih ekstrem. Fenomena itu yang disebut sebagai "Benua Arktika-Dingin Hangat" WACC, dan mereka menyelidiki bagaimana hubungan ini berubah dengan iklim yang menghangat. Dalam studi mereka, para peneliti melihat data iklim historis kemudian beralih ke model proyeksi iklim. Mereka mengeksplorasi hubungan potensial dan menilai bagaimana fenomena ini dapat dipengaruhi oleh berbagai skenario pemanasan global. Mereka menggunakan data iklim dari European Center for Medium-Range Weather Forecasting ECMWF selama hampir 40 tahun. Berdasarkan data itu para peneliti mengorelasikan suhu musim dingin di Asia Timur dan Amerika Utara dengan suhu Laut Barents-Kara dan Laut Siberia Timur-Chukchi di wilayah Arktika. Mereka mengamati bahwa suhu musim dingin yang lebih rendah di Asia Timur dan Amerika Utara biasanya disertai dengan suhu Laut Arktik yang lebih hangat. Namun, mereka juga menemukan bahwa di beberapa musim dingin, seperti musim dingin 2017/18 di Asia Timur, pola ini tidak berlaku. Temuan mereka menunjukkan bahwa keterkaitan tersebut mencakup ketidakpastian yang mungkin disebabkan oleh faktor selain suhu Laut Arktika. Meskipun demikian, dengan menggunakan proyeksi iklim dari percobaan Half degree Additional warming, Prognosis and Projected Impacts HAPPI, para peneliti menemukan bahwa pola WACC tetap bertahan bahkan ketika suhu global naik. HAPPI merupakan peranti yang ditargetkan untuk memproyeksikan iklim masa depan di bawah skenario pemanasan 1,5°C hingga 2°C. Namun, mereka menemukan bahwa korelasi antara suhu Laut Arktika dan suhu Asia Timur menjadi semakin tidak pasti dengan intensifikasi pemanasan global. “Kami menemukan bahwa hubungan antara pemanasan Arktik dan kejadian cuaca dingin di garis lintang tengah akan menjadi lebih tidak pasti di bawah iklim yang lebih hangat, menantang perkiraan suhu musim dingin di masa mendatang,” kata Yungi Hong, mahasiswa di GIST dan anggota tim peneliti. Baca Juga Peristiwa Cuaca Ekstrem Memicu Timbulnya Ancaman Penyakit Kulit Baca Juga Ilmuwan PBB Peringatkan Dunia Harus Segera Hentikan Baca Juga Kekerasan terhadap Perempuan Diperkirakan Naik seiring Cuaca Ekstrem Baca Juga Squall Line, Awan Hujan Badai Ekstrem yang Dipicu Perubahan Iklim “Studi kami menunjukkan bahwa sementara seseorang dapat mengharapkan gelombang dingin yang memicu pemanasan Arktik di garis lintang tengah untuk bertahan di masa depan yang lebih hangat, mereka akan menjadi lebih sulit untuk diprediksi,” tambah Prof. Jin-Ho Yoon. Peristiwa Arktika yang hangat di bawah iklim yang lebih hangat akan dikaitkan tidak hanya dengan benua yang lebih dingin di Asia Timur tetapi juga dengan benua yang lebih hangat. Fenomena ini bergantung pada proses telekoneksi yang juga diperumit oleh Arktika yang lebih hangat. Hasil penelitian ini menyoroti pentingnya upaya berkelanjutan untuk lebih memahami interaksi antara pemanasan Arktika dan iklim garis lintang tengah. Temuan ini sebagai sarana untuk menemukan prediktor alternatif untuk peristiwa cuaca musim dingin ekstrem yang akan datang. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
DownloadPrediksi HK Malam Ini 4 Juni 2021 file (7.44 MB) with just follow This provide cant be coupled with almost every other offer you. Electronic information and providers might only be available to customers located in the U.S. and they are topic for the terms and conditions of Amazon Electronic Providers LLC. Give restricted to just one per client and account. Amazon reserves the properJakarta, CNN Indonesia - Bumi secara keseluruhan telah kehilangan 28 triliun ton es di kutub antara tahun 1994 dan tahun 2017. Namun studi mencatat, sejak tahun 1990 Bumi hanya kehilangan sekitar 800 miliar metrik ton es dari setiap studi yang diterbitkan di jurnal The Cryosphere mencatat es yang mencair di seluruh dunia selama beberapa dekade sangat mencolok. Es terus menghilang di sebagian besar wilayah Bumi, yang disebabkan oleh perubahan iklim. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan gletser gunung menyusut dari Pegunungan Alpen Eropa, pegunungan Himalaya di Asia hingga Andes di Amerika tersebut menunjukkan bahwa gletser gunung di seluruh dunia telah kehilangan hampir 10 triliun ton es sejak 1960 dengan penurunan yang es Greenland dan Antartika juga telah mencair dalam jumlah besar. Sejak 1990-an, Antartika telah kehilangan 2,6 triliun ton dan di Greenland telah kehilangan hampir 4 triliun ton Antartika, sebagian besar es mencair berasal dari gletser yang merusak laut, atau gletser yang kembali ke laut. Studi terbaru menemukan bahwa arus air laut yang hangat menyebabkan gletser mencair dan membuat es bergeser ke ilmuwan masih menyelidiki sumber air hangat yang ada di Antartika, namun beberapa ahli percaya bahwa perubahan iklim menjadi pemicu es di Antartika perlahan mencair, melansir Scientific American. Di Greenland, fenomena yang sama juga tengah berlangsung. Namun pencairan di Greenland berasal dari cairnya es pada permukaan, atau es yang mencair di lapisan teratas. Suhu panas yang meningkat, memicu cairnya es yang ada di wilayah gletser gunung dan lapisan es merupakan penyumbang naiknya permukaan laut secara global. Sebuah studi baru memperkirakan telah terjadi kenaikan permukaan permukaan laut sebanyak 34 milimeter sejak tahun India Today, Para peneliti mencatat bahwa cairnya es di seluruh dunia memicu naiknya permukaan laut yang meningkatkan risiko banjir di masyarakat pesisir."Meskipun setiap wilayah yang kami pelajari kehilangan es, kerugian dari lapisan es Antartika dan Greenland paling cepat terjadi," kata Thomas Slater, Peneliti di Universitas Leeds, itu, peneliti juga menemukan kenaikan suhu di atmosfer dan lautan masing masing sebesar 0,26 dan 0,12 derajat Celcius tiap dekade sejak dingin merupakan habitat penting bagi satwa liar, termasuk beruang kutub dan dan mamalia laut es memiliki permukaan terang yang membantu dapat memantulkan panas dari sinar Matahari. Banyak ahli percaya bahwa menyusutnya es laut telah mempercepat laju pemanasan di Kutub Utara. Saat ini suhu di sana naik dua kali lipat dari biasanya. can/DAL [GambasVideo CNN]
Ketikasuhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasiMencairnya es di kutub disinyalir hasil dari global warming warming yang disebabkan gas buang emisi industri hubungan sebab-akibat diatas adalah keterkaitan dengan aspek keterkaitan dengan aspek kalo salah. Selain Pemanasan GLOBAL, mencairnya es di kutub utara juga di sebabkan Pemanasan INDOSIAR, RCTI, TVRI dan pemanasan SCTV #FaktaNgawurrr" Sejak beberapa dekade terakhir, para pakar iklim terus mencemaskan dampak pemanasan global, khususnya yang menimpa kedua kutub bumi. Yang terutama diamati dan diteliti adalah kawasan Kutub Utara. Pasalnya, lapisan es di Kutub Utara terus menyusut drastis dalam 30 tahun terakhir ini. Lapisan Es Terus Menipis Pengukuran yang dilakukan 300 pakar iklim dari delapan negara yang lokasinya berbatasan dengan Kutub Utara menunjukan, dalam tiga dekade terakhir, lapisan es di lautan sekitar kutub menyusut sekitar 990 ribu kilometer persegi. Disebutkan, kawasan kutub kini mengalami pemanasan global lebih cepat dari kawasan lain di dunia. Para pakar iklim juga yakin, pemicu pemanasan drastis di kawasan kutub, adalah aktivitas manusia. Dalam beberapa dekade terakhir, emisi gas rumah kaca ke atmosfir terus meningkat drastis. Tidak Ada Lagi Es Pada Musim Panas di Kutub Utara Sinyal apa yang dilontarkan dari penyusutan drastis lapisan es di lautan Kutub Utara itu? Tentunya bukan pertanda yang baik bagi ekosistem. Karena itulah, dalam sebuah konferensi ilmiah di Hamburg, sekitar 500 pakar iklim mendiskusikan kemungkinan dampak yang bakal muncul dari penyusutan lapisan es di Kutub Utara tersebut. Peneliti iklim dari Institut Max-Planck untuk meteorologi di Hamburg, Jochem Marotzke mengatakan, menurut perhitungan, sekitar akhir abad ini, lapisan es itu pada setiap musim panas akan mencair seluruhnya. Memang di musim dingin lapisan es kembali terbentuk. Akan tetapi, di musim panas berikutnya seluruhnya kembali mencair. Apa yang diungkapkan Marotzke, tentu saja bukan berita bagus. Jika ramalannya tepat, artinya sekitar tahun 2080 mendatang, setiap musim panas di Kutub Utara tidak akan ditemukan lagi hamparan padang es. Sekarang saja, para peneliti dari institut penelitian kutub Alfred-Wegener di Bremerhaven, mencatat bahwa lapisan es di lautan sekitar kutub juga semakin tipis, setiap musim panas, menyusut sekitar 20 persen dalam 30 tahun terakhir. Demikian dikatakanChristian Haas, peneliti dari Bremerhaven. Permukaan Laut Akan Meningkat Laju penyusutan lapisan es di lautan sekitar kutub, diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun 2080 mendatang, sampai semuanya mencair. Dampaknya adalah meningkatnya permukaan air laut global. Dalam 20 tahun terakhir ini, permukaan air laut sudah naik rata-rata delapan centimeter. Jika semua lapisan es mencair, diperkirakan permukaan air laut akan naik rata-rata 90 centimeter. Pemicu drastisnya penyusutan lapisan es adalah pemanasan global yang dipicu aktivitas manusia. Pemanasan Global Terus Berlanjut Lebih lanjut peneliti iklim Jochem Marotzke meramalkan terus berlanjutnya pemanasan global. Perhitungan menunjukan, Kutub Utara memanas dua kali lebih cepat, ketimbang kawasan lainnya di dunia. Diperhitungkan adanya pemanasan antara 8 sampai 10 derajat Celsius, di kawasan lintang Kutub Utara. Dampaknya bagi manusia akan sangat besar. Dalam jangka panjang, artinya sampai abad mendatang, jika suhu rata-rata global naik antara tiga sampai empat derajat Celsius, lapisan es abadi di Greenland akan mencair seluruhnya. Sebagai akibatnya, permukaan air laut global akan naik rata-rata tujuh meter. Semua negara kepulauan kecil akan tenggelam. Kota-kota besar di kawasan pantai, sebagian juga akan lenyap. Para peneliti iklim memperkirakan, akibat perubahan drastis selama beberapa dekade, kerusakan yang terjadi pada sebagian ekosistem akan menetap. Sebagian lagi dapat dipulihkan atau paling tidak efeknya diminimalkan secara siginifikan. Tapi syaratnya, tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca juga dilaksanakan lebih efektiv lagi. Kutub Selatan Berbeda Jika di Kutub Utara diamati penyusutan drastis lapisan es, bagaimana kondisi di Kutub Selatan? Diketahui di kawasan Antartika terdapat iklim serta arus laut yang berbeda dari sistem yang mempengaruhi Kutub Utara. Karena itulah dampak pemanasan global di Kutub Selatan tidak sekuat seperti yang melanda Kutub Utara. Sejauh ini dapat diamati, di Kutub Selatan relatif tidak terjadi pencairan laisan es. Peneliti dari Institut Alfred Wegener di Bremerhaven, Christian Haas bahkan mengamati dampak sebaliknya. Menurut data, dalam 30 tahun terakhir ini, terjadi peningkatan lapisan es di lautan sekitar Antartika. Suhu Juga Akan Naik di Kutub Selatan Akan tetapi dalam dekade mendatang, suhu di kawasan Kutub Selatan juga akan meningkat. Apakah fenomena ini juga akan mencairkan lapisan es di Antartika? Menanggapi pertanyaan ini, para pakar iklim melontarkan pendapat yang berbeda-beda. Penyebabnya, kawasan antartika amat besar, dengan persyaratan iklim yang berbeda-beda untuk setiap bagian kawasannya. “Kawasan timur antartika lebih tebal dan tinggi. Karena itu, salju di kawasan tersebut dapat terakumulasi lebih banyak, dan menyebabkan peningkatan volume lapisan es. Sementara kawasan barat Antartika, sangat terpengaruh oleh arus Circum-Antartika, yang mengangkut air dengan suhu lebih hangat. Jadi di sana, terdapat kaitan lebih erat, antara pemanasan samudra dengan mencairnya lapisan es.“ Demikian dijelaskan Christian Haas. Lapisan Es di Kutub Selatan Stabil Juga Jochem Marotzke, pakar iklim dari Institut Max Planc untuk Meteorologi di Hamburg, mengatakan sulit untuk memperkirakan secara akurat, bagaimana dampak dari pemanasan global di Kutub Selatan. Hal ini dikarenakan terdapatnya proses yang saling bertolak belakang. Jika suhu lebih hangat, diperhitungkan volume hujan salju akan meningkat. Akan tetapi, diperkirakan juga, lapisan es di kaki gletsyer akan mencair. Proses mana yang akan menang belum diketahui. Tapi menurut model perhitungan, tidak diharapkan adanya perubahan drastis pada lapisan es di Kutub Selatan. Akan tetapi di sana, masih terjadi situasi yang sulit diramalkan. Hancurnya Ekosistem Tapi juga diingatkan, pemanasan global dan efek rumah kaca tetap akan berdampak besar, juga pada ketinggian muka air laut global. Jika ramalan pakar iklim terbukti, dalam 80 tahun mendatang di setiap musim panas, lapisan es Kutub Utara akan mencair seluruhnya, pastilah terdapat konsekuensi drastis bagi flora dan fauna di kawasan Kutub Utara. Akan terjadi kerusakan drastis pula bagi ekosistem yang khas untuk banyak organisme. Misalnya habitat kehidupan plankton, ikan, anjing laut atau beruang es. Demikian diungkapkan Iris Werner, biolog dari Universitas Kiel. Sebab organisme itu amat tergantung dari habitat lautan es di sekitar kutub. Jika setiap musim panas lapisan es mencair seluruhnya, artinya binatang-binatang ini kehilangan ruang hidupnya dan juga makanannya. Pada akhirnya banyak binatang khas kutub akan musnah. Apa dampak dari musnahnya sejumlah organisme kutub ini bagi kehidupan manusia, masih terus diteliti oleh para pakar. Tapi yang jelas, simulasi iklim yang dibuat para pakar menunjukan, jika lapisan es di kawasan kutub terus menipis, kawasan Eropa akan mengalami dampak yang tidak menyenangkan. Musim panas nantinya akan lebih kering, sementara musim dingin lebih hangat. Bahkan dalam cuaca yang tidak terlalu fluktuativ sekalipun, tetap saja kehidupan manusia di Eropa akan berubah drastis.